Mikrotv.ID, Jakarta – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menegaskan bahwa hujan deras yang terjadi di musim kemarau bukanlah anomali iklim.
Menurutnya, kondisi ini normal mengingat letak geografis Indonesia yang berada di antara dua benua, Australia dan Asia, serta dua samudra, Pasifik dan Hindia.
Dwikorita menjelaskan, meski musim kemarau, hujan tetap bisa terjadi.
Sementara secara umum, musim kemarau di Indonesia berkaitan dengan aktifnya angin monsun timur dari Australia yang bersifat kering,” ungkap Dwikorita dalam Konferensi Pers secara daring di Jakarta, Senin (8/7/2024).
Musim kemarau di Indonesia ditandai dengan curah hujan kurang dari 50 mm/dasarian dan berlangsung minimal tiga dasarian berturut-turut.
Musim kemarau sendiri tidak terjadi secara serempak di seluruh wilayah Indonesia dan durasinya berbeda-beda.
BMKG mencatat, hingga akhir Juni 2024, sebanyak 43% zona musim di Indonesia sedang mengalami kemarau, dengan puncak musim kemarau terjadi pada Juli dan Agustus 2024 mencakup 77,27% wilayah zona musim.
Meskipun musim kemarau, kondisi kering dan panas tidak selalu terjadi karena keragaman iklim Indonesia dipengaruhi oleh faktor global seperti El Nino/La Nina, faktor regional seperti Madden Julian Oscillation (MJO), dan faktor lokal seperti angin darat-angin laut.
“Sebuah kejadian cuaca, umumnya merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor tersebut,” imbuhnya.
Dalam beberapa hari terakhir, hujan lebat di beberapa wilayah seperti Banten, Jawa Barat, Jakarta, dan Maluku disebabkan oleh dinamika atmosfer skala regional yang signifikan, termasuk aktivitas MJO, Gelombang Rossby Ekuatorial, dan Gelombang Kelvin.
MJO adalah fenomena dinamika atmosfer yang mempengaruhi pola cuaca dengan meningkatkan kemungkinan hujan intens meski di musim kemarau.
Dwikorita menambahkan, fenomena MJO, Rossby Equatorial, dan Kelvin aktif di Indonesia bagian tengah dan selatan sejak 28 Juni, sehingga BMKG telah mengeluarkan peringatan dini potensi hujan lebat.
Wilayah seperti Sumatra bagian selatan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua bagian selatan mengalami peningkatan curah hujan.
Selain itu, tipe hujan di Indonesia dipengaruhi oleh topografi wilayah yang beragam, seperti daerah pegunungan dan pantai, yang menambah keragaman iklim.
Kondisi ini membagi Indonesia menjadi banyak zona musim dengan periode waktu terjadinya musim hujan dan kemarau yang berbeda-beda.
Deputi Bidang Meteorologi, Guswanto, mengatakan bahwa peningkatan curah hujan di awal musim kemarau ini disebabkan oleh aktivitas MJO, Gelombang Kelvin, dan Rossby Equatorial, serta suhu permukaan laut yang hangat di perairan sekitar Indonesia.
Kondisi ini mendukung pertumbuhan awan hujan signifikan di wilayah tersebut.
BMKG memperkirakan hujan dengan intensitas sedang hingga lebat akan terjadi pada 8-10 Juli 2024 di sebagian besar Sumatra, Jawa bagian barat, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Pada 11-14 Juli 2024, potensi hujan sedang-lebat akan terjadi di Sumatra bagian utara, sebagian besar Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.
Guswanto mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dan melakukan antisipasi dini terhadap cuaca ekstrem yang masih bisa terjadi, seperti hujan lebat, kilat/petir, angin kencang, angin puting beliung, dan hujan es.***